WAHABISME DI INDONESIA
Syamsul Rizal Panggabean
Apakah Ada Pengaruh Wahabisme di Indonesia?
Apakah
ada pengaruh Wahabiyah di Indonesia? Jika ada, siapakah kelompok atau
gerakan yang mewakilinya? Bagaimana Wahabiyah masuk ke Indonesia? Ketika
radikalisasi Islam dianggap menjadi ciri penanda masyarakat Islam di
Indonesia – terutama setelah rubuhnya Orde Baru, apakah itu dapat
dipandang sebagai pengaruh paham Wahabiyah? Apakah doktrin jihad yang
digunakan kelompok teroris diambil dari doktrin jihad Wahabiyah? Apakah
Salafiyah – dan bukan Wahabiyah – yang dapat disalahkan karena berada di
balik radikalisasi dan militansi yang muncul dalam isu penerapan
syariat Islam? Tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan-pertanyaan
ini sehingga uraian di bawah ini hanya bersifat tentatif.
Jihad di Nusantara Akhir Abad XVIII
Dalam
sejarah pemikiran Islam di Asia Tenggara, ada seorang ulama yang hidup
semasa dengan Muhammad ibn `Abd al-Wahhab, yaitu Abd al-Samad al
Palimbani (wafat kira-kira 1788). Ia termasuk salah seorang yang paling
dahulu – kalau bukan yang pertama – menulis uraian panjang mengenai jihad.
Sebelum al-Palimbani, jihad bukan topik penting dalam karya-karya ulama
di Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya. Baik karya Nuruddin
ar-Raniri, al-Sirāt al-Mustaqīm, maupun karya Abd al-Ra’uf, Mir’at al-Tullâb,
tidak mencakup bab mengenai jihad. Begitu pula, jihad sebagai doktrin
ideologis dan bagian dari konstruksi musuh yang non-Muslim, termasuk
penjajah dari Eropa, tidak berkembang. Penting dicatat bahwa, di dalam
kitab-kitab yang muncul di Asia Tenggara sebelum paruh kedua abad XVIII,
perang melawan penjajah Portugis (tahun 1511, di Malaka) dan Spanyol
(tahun 1578, di Brunei) tidak disebut dan dilegitimasikan sebagai jihad
atau perang sabil (Mansurnoor, 2004).
Al-Palimbani,
seperti tampak dari namanya, adalah ulama kelahiran Palembang, yang
tinggal di Mekkah. Ia lebih banyak menulis karya di bidang tasauf
(misalnya?). Akan tetapi, kolonialisme dan perkembangan di Jazirah Arab,
khususnya kemunculan dan gebrakan awal gerakan Wahabiyah, telah
mendorongnya menulis mengenai masalah jihad dan menganjurkan raja-raja
di Nusantara supaya berjihad melawan musuh yang berasal dari agama lain,
yaitu kekuatan-kekuatan kolonial. Pada tahun 1772 al-Palimbani menulis
surat kepada Raja Mataram Sultan Hamengkubuwono I dan Susuhunan Prabu
Jaka, yang memuji raja-raja Mataram terdahulu yang berjihad melawan
Belanda. Di kemudian hari, tulisannya menjadi rujukan penulis-penulis
Aceh dan Melayu yang sedang gencar melancarkan perang melawan penjajah.
Karyanya juga dirujuk dalam Hikayat Prang Sabi, syair jihad Aceh yang muncul seabad setelah al-Palimbani. (Mansurnoor, 2005; Bruinessen, 1990).
Setelah
al-Palimbani, perlawanan terhadap penjajah Belanda semakin sering
disebut sebagai jihad. Raja Ali Haji dari Pulau Panyengat, Riau, dalam
bukunya Tuhfat al-Nafis menyebut perang melawan Belanda di Melaka pada 1784 sebagai jihad fi sabil Allah (Mansurnoor, 2005: 10). Perang Diponegoro (1825-1830), oleh pemimpinnya, Pangeran Diponegoro, juga disebut jihad. Di dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad karena Belanda adalah kafir.
Ia juga mengajak supaya pengikutnya memerangi pemimpin dan penguasa
Jawa yang menjadi antek Belanda, karena mereka menurutnya adalah murtad. Begitu pula, Perang Aceh yang berlangsung sejak akhir abad XIX dikategorikan sebagai jihad (Mansurnoor, 2005: 18-19).
Gerakan Padri di Sumatra Barat
Sebagian
sejarawan menganggap Gerakan Padri di Sumatra Barat pada awal abad XIX
sebagai gerakan Islam yang dipengaruhi paham Wahabi – baik dari sudut
puritanisme maupun – dalam kadar yang lebih rendah – penggunaan
kekerasan dalam dakwah. Beberapa tokoh dari Minangkabau tengah
melaksanakan ibadah haji ketika kaum Wahabi menaklukkan Makkah dan
Madinah pada tahun 1803-1804 – sebelum mereka terusir dari Madinah pada
1812 dan dari Mekkah pada 1813 karena dipukul pasukan Khalifah Usmaniah.
Para jamaah haji dari Minangkabau ini sangat terkesan dengan ajaran
tauhid dan syariat Wahabiyah dan bertekat menerapkan paham baru tersebut
apabila mereka kembali ke Sumatra. Tiga di antara mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Bersama-sama
dengan Tuanku Nan Renceh, mereka memimpin apa yang kemudian disebut
Gerakan Padri. (Dobbin, 1992: 152; Azra, 1994: 191-192).
Salah
seorang dari jamaah haji dari Minangkabau itu adalah Haji Miskin. Dia
menentang beberapa praktik yang menurutnya tidak sesuai dengan syariat,
yaitu adu ayam jago, minum tuak, dan mengisap candu – kebiasaan yang
sering berujung dengan perkelahian dan bahkan pembunuhan. Tidak mudah
bagi Haji Miskin untuk menghentikan kebiasaan buruk ini. Malahan, ia
ditentang masyarakat dan dalam beberapa perkelahian Haji Miskin dan
pengikutnya terpaksa melarikan diri.
Tokoh
Padri lainnya adalah Tuanku Nan Renceh. Ia juga menentang kebiasaan adu
jago yang dilakukan di gelanggang yang khusus dibangun untuk tujuan
tersebut. Dengan alasan bahwa cara-cara yang lunak telah gagal
menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat, Tuanku Nan Renceh
mengadopsi ajaran jihad – yaitu dengan memerangi dan membunuh
orang-orang yang menjalankan kebiasaan buruk tersebut. Kakak
perempuan ibunya termasuk yang ia bunuh karena mengunyah tembakau.
Memang, selain melarang adu jago, ia juga mengharamkan penggunaan
tembakau dan candu. Yang juga ia kecam adalah judi, makan sirih, dan
minum minuman keras. Selain itu, ia juga meminta orang memakai pakaian
berwarna putih, melarang perhiasan emas dan pakaian sutra. Perempuan
diminta menutupi wajahnya dan laki-laki dilarang mencukur jenggot. Tentu
saja, Tuanku Nan Renceh dibantu para petugasnya mengawasi orang supaya
supaya tidak lupa menjalankan salat lima waktu.
Penggunaan
jihad dan kekerasan juga ditujukan dalam memerangi desa-desa dan
kelompok-kelompok tarekat yang tidak tunduk kepada paham Wahabi kelompok
Padri. Tidak jarang, desa yang satu diadu dengan desa lainnya dengan
memanfaatkan potensi ketidakselarasan yang melanda hubungan antardesa di
Minangkabau. Pengikut Tuanku Nan-Renceh bersedia berpartisipasi dalam
perkelahian dan peperangan karena, jika menang, mereka akan mendapatkan
harta rampasan dan upeti yang diberikan desa yang kalah (Dobbin, 1992:
159).
Gerakan
Padri tidak berhasil menguasai semua wilayah Minangkabau dalam satu
atap pengaruh Wahabiyah. Campurtangan Belanda di wilayah itu, dan perang
yang berlangsung berkali-kali di berbagai kota di Sumatra Barat pada
dekade-dekade awal abad XIX, cukup menyulitkan gerakan Padri dalam
mengembangkan pengaruhnya. Selain itu, perubahan lain juga terjadi. Pada
tahun 1820-an, gelombang jamaah haji baru kembali dari Tanah Suci.
Mereka naik haji ketika pengaruh Wahabi di Mekkah dan Medinah merosot
setelah dikalahkan di dua kota tersebut.
Pengaruh Wahabisme di Abad XX?
Di
awal abad XX, dua gerakan dan organisasi Islam yang bersemangat puritan
dan dengan pengaruh Wahabisme yang bervariasi bisa disebutkan secara
singkat di sini. Keduanya adalah Muhammadiyah (berdiri 1912) dan
Al-Irsyad (1915). Gerakan Islam lainnya, Nahdatul Ulama (1926) juga
perlu disebut karena secara negatif dipengaruhi oleh gerakan Wahabisme
dan Salafiyah. Selain perkembangan Islam di Timur Tengah, beberapa
faktor penting terkait dengan gerakan-gerakan ini, yaitu gerakan
reformasi Islam di Indonesia, kolonialisme Belanda dan pengaruhnya di
bidang pendidikan dan reformasi sosial, dan nasionalisme.
Haji
Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, berasal dari periode
yang lebih belakangan dari gerakan Padri. Yang lebih penting lagi, dia
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci (yang kedua kali) pada saat yang
menarik: Ketika Mekkah dan Medinah dikuasai oleh penguasa Wahabi/Saudi
yang sedang membentuk negara Arab Saudi/Wahabi ketiga, dan, pada saat
yang sama, ketika gerakan Salafiyah dicanangkan oleh Muhammadi Abduh dan
Rasyid Ridla. Dengan Ridla, Ahmad Dahlan memiliki hubungan pribadi
antara tahun 1903-1905. Karenanya, Ahmad Dahlan dapat menimba inspirasi
dari dua gerakan tersebut. Akan tetapi, fanatikisme dan kekerasan yang
dipertontonkan kaum Wahabiyah di jazirah Arab, begitu pula gerakan jihad
melawan penjajah Belanda atau penguasa Indonesia, tidak tampak baik
dalam biografi Ahmad Dahlan maupun dalam sejarah gerakan Muhammadiyah
yang didirikannya (Pijper, 1984: 110-13; Noer, 1980: 108).
Syeikh
Ahmad Surkati (1870-1943), pendiri organisasi pendidikan dan keagamaan
Al-Irsyad, adalah seorang ulama keturunan Arab yang berasal dari Sudan
dan datang ke Indonesia pada 1905. Dari negerinya ia pergi ke Mekkah dan
mempelajari karya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah. Ia
juga mempelajari karya Muhammad Abduh. Ia menentang bidah di bidang
syara` dan ibadat. Ia juga mentang praktik ziarah makam dan
tempat-tempat keramat, memohon perantaraan (tawassul) para Nabi dan
Wali, dan syafaat (Pijper, 122-123). Praktik
bidah lainnya yang ia tentang adalah tahlil dan talkin. Praktik yang
terakhir ini menurutnya berasal dari Suriah (Pijper, 125).
Beberapa
praktik dan keyakinan keagamaan yang ditentang kalangan reformis dan
puritan di Indonesia seperti Haji Ahmad Dahlan dan Syeikh Ahmad Surkati,
adalah tahlilan, selamatan, sesaji, ziarah makam wali, tawassul, dan
peran mazhab-mazhab fikih.
Nahdatul
Ulama didirikan pada 1926. Kehadirannya terkait dengan dua perkembangan
penting di dunia Islam, yaitu penghapusan khilafah di Turki dan
tegaknya negara Wahabi-Saudi di Jazirah Arabia (Feillard, 1999: 11).
Kalangan ulama ingin mempertahankan seperangkat praktik keagamaan yang
selama ini dijalankan di Indonesia dan yang ditentang oleh paham Wahabi,
yaitu membangun kuburan, ziarah, membaca puji-pujian seperti dalāil al-khairāt,
kepercayaan kepada para wali, dan mengamalkan mazhab Syafii. Walaupun
demikian, NU menolak tuduhan bidah yang dituduhkan oleh kalangan yang
ingin memurnikan Islam, dan di dalam statuta NU disebutkan bahwa
organisasi ini akan menyeleksi kitab mana yang ditulis oleh ulama Ahli
Sunnah Wal Jamaah dan kitab yang ditulis ahli bidah (Feillard, 1999:
12-13).
Gerakan
dan organisasi Islam yang muncul pada awal abad XX, baik yang puritanis
maupun tradisionalis, tidak banyak menyinggung doktrin jihad. Ini
selaras dengan berkurangnya perlawanan bersenjata terhadap penjajahan
Belanda dan Jepang dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Gerakan
nasionalisme dan gerakan keagamaan dalam konteks nasionalisme lebih
menekankan cara-cara reformasi sosial, bukan perlawanan bersenjata.
Selain itu, dalam kasus Indonesia, penjajah Belanda juga mengadakan
perubahan mendasar di awal abad XX, yaitu politik etik yang menekankan
reformasi sosial. Pendekatan ini menimbulkan munculnya konflik antara
pendekatan kerjasama (kooperatif) dan perlawanan (non-kooperatif) di
kalangan gerakan nasionalis di Indonesia sehubungan dengan penjajah
Belanda dan kemudian Jepang.
Akan
tetapi, radikalisasi masih dapat dilihat di daerah tertentu dan terkait
dengan pertarungan politik dan elit lokal di masyarakat Muslim. Di
Aceh, misalnya, ada konflik antara ulama reformis yang tergabung dalam
PUSA (Persatuan ulama seluruh Aceh) yang didirikan Daud Beureueh dan
ulama tradisionalis yang sebagian bergabung dalam gerakan PERTI
(Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang didirikan di Bukit Tinggi, Sumatra
Barat pada 1930 dan cukup berpengaruh di Aceh. Yang penting dicatat di
sini adalah bahwa dalam konteks Aceh, Salafiyah berarti tradisionalis,
dan Wahabi berarti reformis dan puritan seperti PUSA dan Daud Beureueh.
Saling mengkafirkan di antara kedua kubu sering terjadi.
Perkembangan
lainnya yang menyangkut radikalisasi terjadi pada masa kemerdekaan dan
terkait dengan perlawanan terhadap kecenderungan sentralisasi pemerintah
pusat. Salah satunya yang terpenting adalah Gerakan Darul Islam
pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat, yang memproklamasikan Negara Islam
Indonesia (NII) pada Agustus 1949. Konstitusi NII menyatakan bahwa
negara menjamin berlakunya syariat Islam dalam masyarakat Islam serta
menjamin kebebasan beribadah bagi pemeluk agama-agama lain. Sehubungan
dengan jihad, Kartosuwiryo membedakan jihad al-akbar dari jihad al-asghar,
yang pertama adalah usaha-usaha mengembangkan diri, dan yang kedua
berarti memanggul senjata melawan musuh. Sebelum Perang Dunia I, ia
menekankan jihad al-akbar dan setelah ia melancarkan perlawanan terhadap pemerintah pusat, ia menekankan jihad al-asghar.
Gerakan
Darul Islam, yang sempat menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, dan Aceh, padam pada tahun 1960-an (tahun 1962 di Jawa
Barat dan Aceh; tahun 1963 di Kalimantan Selatan; tahun 1965 di
Sulawesi; di Jawa Tengah tahun 1955). Kartosuwirjo sendiri ditembak pada
1962. Akan tetapi, di masa yang belakangan, beberapa gerakan yang
mengusung isu penerapan syariat, seperti N11 KW 9 di Cianjur, Komando
Jihad, dan KPSI (Komite Penegakan Syariat Islam) di Sulawesi Selatan
secara eksplisit atau implisit mengaitkan pergerakannya dengan Darul
Islam.
Sejumlah
organisasi kecil Islam berskala nasional, yang tidak berafiliasi dengan
partai politik Islam maupun organisasi besar Islam, tetapi menuntut
pemberlakuan syariat Islam dan sangat signifikan dalam pergerakannya
yang akan dikaji di sini. Organisasi-organisasi ini menuntut penerapan
syariat Islam pada basis yang sama dengan partai-partai politik Islam,
yakni amandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang mencantumkan kembali tujuh
patah kata dalam rumusan Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Forum Komunikasi
Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah (FKAWJ) dengan Laskar Jihadnya, Front Pembela
Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), merupakan sebagian
dari gerakan radikal nasional yang berjuang untuk tuntutan tersebut.
FKAWJ dan Laskar Jihad
FKAWJ dibentuk di Solo pada 14 Februari 1998, beberapa bulan menjelang lengsernya rejim Suharto,[1] dan dipimpin oleh Jafar Umar Thalib. Karakter utama forum ini adalah salafisme,[2]
yang menganjurkan pembacaan literal terhadap al-Quran dan hadits, serta
menolak seluruh penafsiran independen maupun praktek-praktek
tradisional.[3]
FKAWJ memiliki sejumlah cabang di berbagai daerah Indonesia, dan
kebanyakan anggotanya adalah mahasiswa, lulusan perguruan tinggi dan
yang putus kuliah, terutama yang menggeluti bidang eksakta. Menurut
Thalib, anggota dengan latar belakang semacam itu menghargai “presisi”
hukum Islam.[4]
FKAWJ memiliki sayap paramiliter bernama Laskar Jihad yang juga dipimpin oleh Thalib sendiri. Popularitas
Laskar jihad melebihi FKAWJ lantaran mendapat publikasi yang luas dari
media massa. Ada sejumlah alasan mengapa laskar ini memperoleh perhatian
khusus media dan masyarakat. Pertama, ia menggunakan teknologi
komunikasi yang terjangkau secara luas di Indonesia – mulai dari mesin
faks hingga internet. Kedua, ia memanfaat teknologi baru itu dengan
mengkombinasikannya dengan media konvensional untuk menanggulangi
kerugian-kerugian yang dihadapinya sehubungan dengan kelompok-kelompok
Muslim lainnya yang lebih besar dan moderat. Terakhir, fenomena Laskar
Jihad menarik karena mengilustrasikan bahwa keragaman yang tengah tumbuh
dalam masyarakat Muslim tidak mesti menjamin eksistensi pluralisme atau
demokrasi.[5]
Berdampingan dengan pengiriman pejuangnya ke Maluku, Laskar Jihad membuat suatu web-site (http://www.laskarjihad.org)
yang menampilkan galeri foto kekejian Kristen di Maluku, laporan harian
tentang kerusuhan Maluku, dan tafsiran bilingual (Indonesia-Inggris)
tentang makna jihad.[6] Laporan harian tentang kerusuhan Maluku kemudian dicetak dalam bentuk buletin, Maluku Hari Ini, dan disebarkan di jalan-jalan di berbagai kota yang memiliki jaringan Laskar Jihad.
Laskar
Jihad, yang dibentuk pada Februari 2000, memang muncul dilatarbelakangi
oleh pecahnya perang saudara antara kaum Muslimin dan Kristen di Maluku
pada awal 1999. Tujuan pembentukannya adalah untuk melindungi kaum
Muslimin dari kelompok paramiliter Kristen yang tidak mampu dilakukan
pemerintah, dan menggulingkan Presiden Abdurrahman Wahid dari
kekuasaannya. FKAWJ dan Laskar Jihad menentang Wahid karena dianggap
menolak menerapkan syariat, mengusulkan pencabutan larangan Partai Komunis, serta mewacanakan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel.[7]
Setelah pembentukannya, pejuang Laskar Jihad di kirim ke Ambon, Poso dan daerah lainnya.[8] Presiden
Wahid berupaya mencegah masuknya Laskar Jihad ke Ambon, tetapi tidak
berhasil. Selama tahun 2000 dan 2001, Laskar Jihad menempatkan sekitar
2000 pejuangnya di Maluku secara bergiliran. Mereka tinggal di rumah
penduduk Muslim setempat, yang barangkali dimaksudkan memfasilitasi
penyebaran ajaran-ajaran Salafi. Pada awalnya, kaum Muslimin lokal
menyambut baik para pejuang Laskar Jihad. Mereka mengakui bahwa para
pendatang tersebut telah mengubah perimbangan perang yang menguntungkan
masyarakat Muslim. Namun, lantaran oposisi yang ditunjukkan anggota
Laskar Jihad terhadap tradisi mereka mengenai shalat, puasa, dan
lainnya, sikap orang-orang Maluku ini pun mulai berubah.
Akhirnya,
operasi militer Laskar Jihad di Maluku mulai memperlihatkan titik balik
dan ekses-eksesnya. Pada Maret 2001, seorang anggota Laskar Jihad
dipersalahkan telah melakukan zina dan dihukum oleh Thalib dengan rajam.
Beberapa minggu kemudian, Panglima Laskar Jihad itu ditangkap polisi
atas tuduhan memprovokasi kerusuhan dan membunuh. Setelah protes keras
dari sejumlah politisi Muslim atas penahanan tersebut, Thalib dilepaskan
dari penjara, tetapi tuntutan terhadapnya tidak dicabut.
Pada
awal 2002, momentum perdamaian Kristen-Muslim di Maluku mulai tampak,
dan terwujud dalam Deklarasi Malino yang ditandatangani para pemimpin
kedua komunitas itu pada 12 Februari 2002. Lantaran memprovokasi kaum
Muslimin untuk menentang Deklarasi Malino dalam suatu pidato radionya di
Maluku, polisi kembali menangkap Thalib pada pertengahan Mei 2002. Tetapi, kasus Panglima Laskar Jihad ini lambat diselesaikan oleh pengadilan.
Tiga
hari setelah peristiwa bom Bali, 12 Oktober 2002, Thalib membubarkan
Laskar Jihad dan menyerukan anggotanya kembali ke rumahnya
masing-masing. Pembubaran ini, menurut penjelasan pimpinan Laskar Jihad,
telah direncanakan sejak September 2002, dan tidak terkait peristiwa
pemboman tersebut. Sementara organisasi induk Laskar Jihad, FKAWJ, tetap
dipertahankan eksistensinya, tetapi dengan masa depan yang tidak
menentu.
FPI
FPI
muncul sebagai sebuah organisasi pada 17 Agustus 1998, dengan ketua
umum Habib Muhammad Rizieq Syihab, dan berkembang subur pada masa
pemerintahan Presiden Habibie. FPI dinilai dekat dengan orang-orang di
sekeliling Soeharto. Di masa Prabowo Subianto aktif di TNI, FPI diduga
sebagai salah satu binaan menantu Soeharto itu. Namun, setelah Prabowo
jatuh, FPI kemudian cenderung mendekati kelompok Jendral Wiranto yang
tengah bermusuhan dengan kelompok Prabowo.[9]
Keterkaitan FPI dengan Wiranto barangkali dapat dideduksi dari aksi
ratusan milisi FPI — yang selalu berpakaian putih-putih — ketika
menyatroni kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
memprotes pemeriksaan Jendral Wiranto dan kawan-kawan oleh KPP HAM.
Milisi FPI yang datang ke kantor Komnas HAM dengan membawa pedang dan
golok bahkan menuntut lembaga hak asasi manusia ini dibubarkan karena
dianggap lancang memeriksa para jendral.[10]
Sementara kedekatannya dengan ABRI terlihat dalam aksi demonstrasi
tandingan yang dilakukannya melawan aksi mahasiswa yang menentang RUU
Keadaan Darurat yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada 24 Oktober 1999.
Setelah kejatuhan Wiranto, kelompok ini kehilangan induknya dan mulai
mengalihkan perhatiannya kepada upaya penegakan syariat Islam di
Indonesia.
FPI
adalah organisasi tertutup dan telah menebarkan sejumlah jaringannya di
berbagai wilayah Indonesia. Sebagaimana organisasi penegak syariat
Islam lainnya, FPI memiliki sayap milisi yang dikenal sebagai Laskar
Pembela Syariat Islam (LPI), suatu satgas yang digembleng dengan
pendidikan semi militer dan militan. Anggota
LPI ini rela meregang nyawa demi cita-cita FPI. Penjenjangan dalam
satgas ini diatur mirip dengan penjenjangan dalam militer: Mulai dari
Imam Besar dan Wakil (pemimpin laskar tertinggi), penjenjangannya
kemudian menurun kepada Imam (panglima beberapa provinsi), Wali
(panglima provinsi), Qoid (komandan laskar kabupaten), Amir (komandan
laskar kecamatan), Rois (komandan regu), dan Jundi (anggota regu).
Belakangan,
FPI makin dikenal luas karena aktivitasnya yang menonjol dalam kancah
politik Indonesia. Kelompok ini pertama kali dikenal karena
keterlibatannya sebagai “PAM swakarsa” yang — dengan bersenjatakan golok
dan pedang — menyerang para mahasiswa yang menentang pencalonan kembali
Habibie sebagai Presiden RI dalam sidang istimewa MPR pada Nopember
1998. Pada bulan yang sama, FPI terlibat dalam aksi penyerangan
satpam-satpam Kristen asal Ambon di sebuah kompleks perjuadian di
Ketapang, Jakarta. Pada Desember 1999, ribuan anggota FPI menduduki
Balai Kota Jakarta selama sepuluh jam dan menuntut penutupan seluruh
bar, diskotik, sauna dan night club selama bulan Ramadan.[11]
Kelompok militan ini, selama tahun 2000, secara reguler menyerang bar,
kafe, diskotik, sauna, rumah bilyard, tempat-tempat maksiat, dan
tempat-tempat hiburan lainnya di Jakarta, Jawa Barat, dan bahkan di
Lampung.[12]
Dalam
serentetan kejadian di atas, polisi terlihat hanya datang menyaksikan
aksi-aksi perusakan. Sekalipun polisi kemudian mengeritik aksi-aksi itu,
tetapi tak satu pun anggota FPI yang ditangkap. Sejumlah pengamat
mengungkapkan — yang juga diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat
— bahwa polisi telah memanfaatkan FPI dan milisinya LPI untuk
memaksakan protection rackets-nya. Sebagai akibatnya, polisi memaafkan aksi tersebut atau bahkan mengarahkan serangan itu ke sasarannya.
Untuk
memperjuangkan penegakan syariat Islam, FPI, misalnya, mengeluarkan
pernyataan kebulatan tekad menjelang ST MPR 2001 yang meminta MPR
mengamandemen konstitusi dan memberlakukan syariat Islam. FPI menuntut
MPR/DPR mengembalikan tujuh kata Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban
melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluknya,” ke dalam UUD 1945, baik
pada batang tubuh maupun pembukaannya. Kelompok
ini yakin bahwa krisis multidimensional yang tengah melanda Indonesia
akan segera berakhir dengan diberlakukannya syariat Islam.[13]
Pada 1 Nopember 2001, FPI kembali melakukan aksi pada pembukaan sidang
tahunan DPR/MPR, dan menyampaikan lima tuntutan. Tiga di antaranya yang
relevan dengan isu penegakan syariat adalah: (1). Kembalikan 7 kata
Piagam Jakarta; (2) masukan syariat Islam ke dalam UUD 1945; dan (3)
buat undang-undang anti maksiat.[14]
Pada Agustus 2002, bersama 14 organisasi kemasyarakatan Islam lain — di
antaranya adalah Front Hizbullah, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia
(PPMI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) — yang tergabung dalam
Forum Umat Islam (FUI), FPI menyampaikan “Petisi Umat Islam” tentang
pencantuman syariat Islam dalam UUD 1945.[15]
Ketika
tekanan internasional semakin kuat terhadap pemerintah Indonesia dalam
kaitannya dengan aksi-aksi terorisme, polisi menangkap pemimpin FPI,
Habib Muhammad Rizieq Syihab, dan menjeratnya dengan dakwaan provokator
sejumlah aksi kekerasan dan perusakan. Sehari setelah pengubahan status
Habib Rizieq dari tahanan polisi menjadi tahanan rumah, pada 6 Nopember
2002 pimpinan FPI membekukan kegiatan FPI di seluruh Indonesia untuk
waktu yang tidak ditentukan.[16]
Tetapi, menjelang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak pada
Maret 2003, FPI kembali muncul dan melakukan pendaftaran mujahidin untuk
membantu Irak melawan para agresornya.
MMI
MMI
adalah organisasi kemasyarakatan Islam yang terbentuk berdasarkan hasil
Kongres Mujahidin I Indonesia untuk Penegakan Syariat Islam di
Yogyakarta, pada awal Agustus 2000. Kongres ini menghasilkan Piagam
Yogyakarta. Isi Piagam Yogyakarta antara lain menegaskan bahwa ummat
Islam, sebagai penduduk mayoritas di Indonesia, mempunyai hak dan
kewajiban mengamalkan dan menegakkan syariat Islam, yang dipandang
sebagai satu-satunya solusi terhadap semua krisis sosial politik dan
kemanusiaan yang menimpa ummat manusia. Karena itu, para mujahidin dalam
kongres tersebut sepakat menyatakan:
1. 2. Menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam yang berakibat syirik dan nifaq serta melanggar hak-hak asasi manusia.
3. Membangun satu kesatuan shof mujahidin yang kokoh kuat, baik di dalam negeri, regional maupun internasional (antar bangsa).
4. Membentuk
Majelis Mujahidin menuju terwujudnya Imamah (Khilafah)/ Kepemimpinan
ummat, baik di dalam negeri maupun dalam kesatuan ummat Islam sedunia.
5. Menyeru
kaum Muslimin untuk menggerakkan dakwah dan jihad di seluruh penjuru
dunia demi tegaknya Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Disamping
butir-butir Piagam Yogyakarta di atas, Kongres Mujahidin I juga
menghasilkan Pokok-pokok Rekomendasi Kongres Mujahidin I untuk Penegakan
syariat Islam di Indonesia. Rekomendasi ini berisi 31 butir seruan,
yang antara lain mengajak setiap Muslim untuk melaksanakan dan
memperjuangkan terlaksananya syariat Islam, mempererat ukhuwah
islamiyah, serta mengembangkan sikap tasamuh (toleransi) dan menolak konsep negara sekuler.[17]
Baik Piagam Yogyakarta maupun Rekomendasi Kongres itu kemudian
diserahkan kepada Fraksi Persatuan Pembangunan menjelang sidang tahunan
MPR 2000. Hasil penting lainnya yang dicapai kongres tersebut adalah
pembentukan Ahlul-Halli wal-Aqdi (AHWA) — semacam majelis syura atau dewan kepemimpinan umat, menyerupai institusi khilafah — yang
beranggota 36 orang. Terpilih sebagai ketuanya Abubakar Baasyir dari
Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo, Jateng, yang kemudian merangkap sebagai
Pimpinan Mujahidin (sementara) alias Amirul Mujahidin.[18]
Pengikraran
Pembentukan MMI kemudian dilakukan di Istora Senayan, Jakarta, pada 26
Maret 2001, yang dihadiri berbagai pimpinan kelompok Islam militan dan
radikal di Indonesia. Isu yang dilontarkan pada acara pengikraran MMI
sejalan dengan Piagam Yogyakarta dan Pokok-pokok Rekomendasi Kongres
Mujahidin di Yogyakarta: MMI bertekad mensosialisasikan dan menjadikan
syariat Islam sebagai bagian dari konstitusi negara. MMI yakin bahwa
hanya dengan penerapan syariat Islamlah krisis multi dimensional yang
sedang dialami Indonesia saat ini dapat diselesaikan.[19]
Selain
turut serta dalam berbagai gerakan penuntutan pemberlakuan syariat
Islam dalam amandemen UUD 1945, MMI juga mengajukan rancangan syariat
Islam yang konkret. Kelompok ini, misalnya, telah menerbitkan Usulan Undang-undang Hukum Pidana Republik Indonesia Disesuaikan dengan Syari’ah Islam.[20]
Usulan hukum pidana Islam yang diajukan MMI merupakan replika
fikih-fikih klasik, yang pada umumnya diadopsi di sebagian negeri Muslim
modern, dan sistematikanya dibuat menyerupai kodeks-kodeks hukum
pidana.
Usulan hukum pidana MMI terdiri dari lima bab. Bab
I berisi batasan pengertian dan berlakunya ketentuan pidana dalam
perundang-undangan. Bab II tentang tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana — tindak pidana, penyertaan, percobaan, jenis kejahatan hudud dan pidana qishash.
Bab III tentang pidana dan pemidanaan — pelaksanaan hukuman,
penangguhan hukuman rajam bagi wanita hamil dan menyusui, tata cara
menghukum cambuk, ketentuan irsy. Bab IV tentang peradilan —
pembuktian, pengakuan, lembaga pengadilan, keanggotaan hakim, dan
kebebasan hakim. Sementara ketentuan penutup dalam bab V berkaitan
dengan pemberlakuan undang-undang hukum pidana.
Substansi hukum pidana yang diusulkan MMI terdapat dalam bab II, yang mengemukakan ketentuan-ketentuan tentang hudud, qishash dan ta‘zir. Hudud didefinisikan sebagai kejahatan yang hukumannya ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah (pasal 4 ayat 1), yang meliputi sariqah,[21] hirabah,[22] zina,[23] qazaf,[24] syurb,[25] dan riddah[26] (pasal 9). Qishash (dan diyat)
didefinisikan sebagai kejahatan yang dikenakan kepada pelaku kejahatan
yang menyebabkan kematian manusia atau menyebabkan kecederaan badan
(pasal 29). Kejahatan yang menyebabkan kematian dikategorikan ke dalam
tiga jenis: qatlu al-‘amd (menyebabkan kematian karena sengaja), qatlu syibhi al-‘amd (menyebabkan kematian karena salah sasaran); dan qatlu al-khata’ (menyebabkan kematian karena tidak sengaja (pasal 30). Sementara ta‘zir adalah kejahatan di luar hudud dan qishash (pasal 4 ayat 3), yang — dalam usulan MMI — tidak dirumuskan jenis kejahatan dan hukuman untuknya.
Untuk berbagai kejahatan yang dicakup dalam hudud dan qishash juga ditetapkan hukuman yang spesifik. Untuk sariqah hukumannya adalah
potong tangan kanan untuk kejahatan pertama, potong kaki kiri untuk
kejahatan kedua, atau dera dan penjara untuk kejahatan ketiga dan
berikutnya (pasal 10 ayat 2). Untuk hirabah hukumannya bunuh
terus disalib jika korban mati dan diambil hartanya, bunuh jika korban
dibunuh tanpa mengambil hartanya, potong tangan kanan dan kaki kiri jika
harta korban diambil tanpa membunuh atau menciderainya serta ditambah diyat
jika korban diciderai dan diambil hartanya, atau diasingkan (pasal 14).
Untuk Zina hukumannya adalah rajam sampai mati jika pelakunya telah
menikah, atau dicambuk 100 kali ditambah pengasingan jika pelakunya
belum menikah (pasal 16). Untuk qazaf hukumannya adalah 80 kali cambuk (pasal 18). Untuk syurb hukumannya maksimal 80 kali cambuk atau minimal empat puluh kali cambuk (pasal 27). Bagi pelaku riddah
yang tidak mau bertobat setelah diberi waktu 3 hari dihukum bunuh dan
hartanya diambil untuk baitul mal, jika bertobat hukumannya adalah ta‘zir (pasal 28).
Sementara ketentuan mengenai kejahatan qishash adalah: untuk qatlu al-‘amd hukumannya adalah bunuh, atau diyat jika dimaafkan wali korban (pasal 32-33). Untuk qatlu syibhi al-‘amd hukumannya adalah diyat dan bisa ditambah dengan hukuman ta‘zir (pasal 35). Untuk qatlu al-khata’ hukumannya adalah diyat dan bisa ditambah dengan hukuman ta‘zir
(pasal 37). Untuk kejahatan yang mengakibatkan cedera dihukum dengan
pencederaan yang sama seperti yang dialami korban. Tetapi, jika
persyaratan syariat tidak terpenuhi, pelaku kejahatan membayar ‘irsy (tebusan) dan bisa dikenakan hukuman ta‘zir.
Hukum
pidana usulan MMI, seperti disebutkan di atas, merupakan replika dan
adopsi kitab-kitab fikih klasik. Jadi, dalam batasan pengertian pada
pasal 1, misalnya, diyat[27]
ditentukan untuk “satu orang Islam laki-laki adalah 100 ekor onta atau
1000 Dinar atau 12000 Dirham” (ayat 3). Bagi “satu orang perempuan
adalah 500 Dinar atau 6000 Dirham” (ayat 4). Sementara untuk “satu orang
kafir (non-Muslim? — pen) adalah setengah dari diyat orang Islam” (ayat 5).
Ilustrasi lainnya tentang pengadopsian fikih klasik terlihat dalam jenis-jenis perbuatan sariqah yang tidak dikenakan hukuman, yang antara lain dijabarkan dalam pasal 11 sebagai berikut:
· apabila harta yang dicuri itu kurang dari nishab, yaitu ¼ Dinar Emas atau 3 Dirham Perak atau 4,450 gram emas (pasal 11 a);
· apabila
pemilik harta yang dicuri itu tidak mengambil langkah yang cukup untuk
menjaga harta itu dari kemungkinan pencurian, tidak menyimpan harta itu
di tempat yang aman, atau harta itu sengaja ditinggalkannya (pasal 11
d);
· apabila
tertuduh belum menguasai barang curian sepenuhnya, walaupun harta itu
sudah lepas dari kekuasaan pemiliknya (pasal 11 e);
· apabila
barang yang dicuri adalah jenis harta yang tidak bernilai dan bisa
diperoleh di mana-mana atau dari jenis barang yang mudah musnah seperti
buah-buahan atau makanan (pasal 11 f);
· apabila
barang yang dicuri tidak mempunyai nilai menurut hukum syariat, seperti
minuman yang memabukkan atau alat-alat hiburan (pasal 11 g);
· apabila
kejahatan itu dilakukan oleh sekumpulan orang yang kalau bagian yang
diperoleh oleh tiap-tiap pelaku kejahatan setelah harta curian itu
dibagikan hasilnya, nilainya kurang dari nishab (pasal 11 k, tentang
nishab, lihat pasal 11 a di atas);
· apabila tertuduh mengembalikan harta yang dicuri itu sebelum hukuman hudud dilaksanakan (pasal 11 L);
· apabila
pemilik harta yang dicuri itu tidak mengaku bahwa hartanya telah
dicuri, walaupun pencuri mengaku telah mencurinya (pasal 11 m).
Ketika
sidang tahunan MPR tahun 2002 tidak berhasil menggolkan pencantuman
tujuh kata Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945, pimpinan MMI,
Ba’asyir, meminta kaum Muslimin mendesak MUI agar secepatnya
mengeluarkan fatwa tentang partai politik apa saja yang layak didukung
umat Islam dalam pemilihan umum 2004. Menurutnya, lewat
forum sidang tahunan MPR RI itu bisa diperhatikan partai politik mana
yang mendukung syariat Islam dan mana yang menolak. Begitu pula, bisa
dicatat siapa saja wakil rakyat yang mendukung syariat Islam, sehingga
kelak pada pemilihan umum mendatang bisa dicalonkan lagi.
[1] Robert W. Hefner, “Civic Pluralism Denied? The New Media and Jihadi Violence in Indonesia,” New Media in the Muslim World: The Emerging Public Sphere, ed. Dale F. Eickelman, (Indiana Univ. Press, 2003), pp. 158 ff.
[2]
Salafi merupakan perujukan kepada pergerakan yang telah lama mapan
dalam Islam yang bertujuan menempa keyakinan keagamaan berpijak pada
teladan generasi pertama pengikut Nabi Muhammad.
[3] Martin van Bruinessen, “The Violent Fringe of Indonesia’s Radical Islam,” ISIM Newsletter, vol. 11 (December 2002), hal. 7.
[4] Hefner, “Globalization,” hal. 18.
[5] Hefner, “Civic Pluralism,” hal. 159.
[6] Situs web ini menghilang dengan dibubarkannya Laskar Jihad.
[7] Hefner, “Civic Pluralism,” hal. 159.
[8] Uraian mengenai sepak terjang laskar jihad dalam paragaf-paragraf berikut sebagiannya bersumber dari Hefner, ibid. hal. 159 ff.
[9] Cf. Hefner, “Globalization,” hal. 14, 15.
[10] Lihat Gatra, 1 Januari, 2000, hal. 74.
[11] Togi Simanjuntak, Premanisme Politik, (Jakarta: ISAI, 2000), hal. 54 ff, 113 ff.; Tempo, 23 Januari 2000, hal. 39-46.
[12] Jakarta Post, June 15, June 23, November 1, November 27, & December 16, 2000.
[13] Kompas, 6 Agustus, 27 Agustus 2001; Suara Merdeka, 2 Nopember, 2001.
[14] Suara Merdeka, 2 Nopember, 2001.
[15] Pikiran Rakyat, 6 Agustus 2002.
[16] Kompas, 7 November 2002.
[17] Tentang piagam ini selengkapnya lihat Irfan Suryahardi Awwas (ed.), Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syari’ah Islam, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001).
[18] Lihat “Khilafah Made in Yogya,” Suara Hidayatullah, September, 2000.
[19] Republika, 27 Maret, 2001.
[20] Lihat Majelis Mujahidin Indonesia, Usulan Undang-undang Hukum Pidana Republik Indonesia Disesuaikan dengan Syari’ah Islam, (Yogyakarta: Markaz Pusat Majelis Mujahidin, tt. [2002?]).
[21]
“perbuatan memindahkan harta milik orang lain dengan cara
sembunyi-sembunyi dari pemeliharaan pemiliknya tanpa persetujuan
pemiliknya, yang mana perbuatan itu dilakukan dengan niat hendak
menghilangkan harta itu dari pemiliknya.” (pasal 10 ayat 1).
[22]
“Perbuatan yang menimbulkan kekacauan di masyarakat sehingga mengganggu
keamanan umum, termasuk pengertian di dalamnya adalah merampas harta
orang lain dengan kekerasan atau dengan ancaman hendak menggunakan
kekerasan, merencanakan dan membuat kerusuhan, menghasut orang lain agar
melakukan tindakan kekerasan, perampokan disertai pemerkosaan, dan
korupsi yang dilakukan oleh seseorang atau sekumpulan orang baik
bersenjata maupun tidak.” (pasal 13).
[23]
“kejahatan berupa persetubuhan di antara seorang lelaki dengan seorang
perempuan yang bukan pasangan suami isteri dan persetubuhan itu tidak
termasuk dalam pengertian ‘wati syubhah’ sebagaimana yang dinyatakan
dalam ayat (3)” (pasal 15).
[24]
“kejahatan membuat tuduhan zina yang tidak dibuktikan oleh empat orang
saksi, terhadap seorang Islam yang mukallaf dan dikenal sebagai orang
yang bersih dari perbuatan zina” (pasal 17).
[25] “kejahatan meminum minuman yang memabukkan (miras)…” (pasal 27). Kejahatan syurb dalam rumusan pasal ini tidak memasukkan kejahatan penggunaan narkoba (pen.).
[26]
“perbuatan yang dilakukan atau perkataan yang disebut oleh seorang
Muslim yang mukallaf yang mana perbuatan atau perkataan itu menurut
hukum syari’ah adalah menghina atau bertentangan dengan aqidah agama
Islam: Dengan syarat perbuatan itu dilakukan atau perkataan itu
disebutkan dengan niat, dengan sukarela dan dengan pengetahuan, dan
tanpa paksaan oleh siapapun dan oleh keadaan apapun.” (pasal 28).
[27]
“suatu jumlah uang atau harta yang harus dibayarkan sebagai denda
karena kematian atau kehilangan akal atau kecederaan anggota badan atau
kehilangan fungsi anggota-anggota badan tersebut yang telah dilakukan
terhadap seorang korban” (pasal 1 ayat 2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar